WABAH (bagian 2)

Pagi ini, seorang pria menghentikan sepeda yang dinaikinya dan berlari tertatih-tatih masuk ke dalam sebuah rumah.

"Bu! Bu!"

Sembari mencengkeram leher sebelah kiri, ia langsung masuk ke dalam kamar. Mendengar panggilan itu, seorang wanita keluar dari dapur dan segera mencari si pria.

"Kenapa, pak," tanyanya setelah ikut masuk ke dalam kamar. Di ruangan itu, ia melihat si pria sudah telanjang dada sambil berdiri di depan sebuah cermin lemari.

"Ya ampun, bapak kenapa?"

Si wanita panik lantaran melihat warna merah yang menutupi kulit leher sebelah kiri si pria. Ia langsung mendekati suaminya itu dan menyentuh lehernya. Basah. Si wanita menutup mulutnya sendiri setelah melihat darah yang membekas di telapak tangannya.

"Aku barusan diserang orang gila. Tadi itu, aku baru saja sampai ke hutan mau meramban, tapi datang orang gila itu. Awalnya, aku sudah curiga kalau dia itu bukan orang normal. Dari cara jalannya saja sudah aneh, tambah lagi liurnya keluar," ujar sang suami sembari meringis menahan sakit.

"Terus, Apa yang dia lakukan sampai bapak seperti ini? Ngeri sekali!"

"Iya. Dia lari ke arahku dan langsung menerkam seperti harimau. Ketika aku sudah jatuh, dia langsung mencakar-cakar tubuhku. Bahkan, orang itu juga menggigit leherku sampai berdarah seperti ini. Aku mencoba mendorongnya, tapi malah tanganku juga digigitnya. Lihat ini!"

Sang suami memperlihatkan punggung tangan kanannya yang terluka dan berdarah.

"Lantas kenapa bapak tidak membela diri?! Bapak bawa sabit, kan? kenapa tidak dibacok saja orang gila sialan itu?!"

"Bagaimana aku bisa membela diri. Dia itu wanita. Masih muda, lagi. Aku tidak mungkin menyakiti wanita walaupun dia orang gila. Aku tidak mungkin tega. Sekarang, lebih baik kau cepat ambilkan obat atau perban atau apalah. Perih sekali rasanya digigiti dan dicakar-cakar."

Sang istri langsung keluar kamar. Sambil duduk di atas ranjang, si pria terus mencengkeram lehernya. Sesekali ia meringis dan memejamkan mata, seakan menahan rasa sakit yang begitu dahsyatnya.

***

Siangnya, pria itu hanya bisa berbaring di atas tempat tidurnya. Leher kiri dan punggung tangan kanannya sudah ditutup dengan kapas yang telah diberi obat. Namun, saat ini bukan luka di kedua bagian itu yang ia rasakan, melainkan tubuh yang menggigil dan aneh rasanya. Ia seperti merasa gatal, tapi tak dapat menemukan dimana letak rasa itu.

Gelisah, si pria mencoba mengamati kulit di tangannya. Entah hanya perasaannya atau memang ia benar-benar melihatnya. Di beberapa bagian lengan tangannya muncul ruam-ruam merah. Ketika diraba, ia tak merasa gatal atau perih. Setelah itu, ia cepat-cepat membuka bajunya dan beranjak bangun dari ranjang. Ia melangkah ke arah cermin dan melihat tubuhnya.

"Duh Gusti..."

Bagian dada dan perutnya penuh dengan ruam merah. Dengan tangan yang gemetar, ia meraba tubuhnya sendiri. Sambil memandang dirinya yang malang, saat itu juga ia teringat anak dan istrinya. Lalu, pria itu mulai sesenggukan. Ia sangat ingin menahan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Tubuhnya berguncang hebat. Kedua tangannya menutup mulutnya sendiri agar tidak ada orang di luar sana yang mendengar suaranya.

Tiba-tiba ada suara dari depan rumah. Suara seorang wanita dan anak kecil. Itu pasti sang istri yang sudah pulang dari menjemput anak mereka yang masih SD, Bobby. Dari dalam kamar, terdengar suara lari-lari kecil dari ruang tamu ke ruang tengah. Itu pasti Bobby! Si pria langsung kembali ke atas ranjang dan mengusap kedua matanya dengan kain selimut.

Ternyata benar. Sosok mungil itu mengintip dari tirai merah muda yang menjadi pintu kamar sang ayah. Pria itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Bobby.

"Bagaimana hari ini di sekolah? Sulit, tidak," tanya si pria. Bobby menggeleng.

"Kata ibu, bapak digigit orang gila, ya? Sakit ya, pak," tanyanya begitu polos.

Sebenarnya, pria itu ingin terkekeh, tapi rasa aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya memaksanya untuk tersenyum saja.

"Bob, kamu mandi dulu saja, terus tidur."

Sang ibu masuk ke dalam kamar, lalu duduk di tepi ranjang. Setelah Bobby meninggalkan mereka, wanita itu menatap suaminya.

"Bagaimana keadaan bapak? Kok sepertinya bapak pucat? Apakah sebaiknya kita ke puskesmas saja?"

"Aku baik-baik saja. Kita tunggu sampai nanti malam. Kalau kondisiku makin memburuk, baru kita periksakan."

Sang istri menyentuh kening suaminya. "Bapak kok dingin? Ayo kita ke puskesmas saja, pak!"

Pria itu terdiam sejenak. Ia merasa tubuhnya lebih aneh dibanding sebelumnya.

"Panggil Mas Bagas Kara saja. Suruh dia kesini."

Wanita itu langsung berdiri dan menuju ke sebuah meja kecil di kamar itu. Ia mengambil smartphone miliknya, lalu menelepon orang yang bernama Bagas Kara itu. Setelah beberapa saat berbicara, ia kembali duduk di samping suaminya.

"Dia sedang banyak pasien di rumahnya. Katanya, dia akan berusaha untuk datang nanti malam."

"Oh, baiklah..."

Mereka berdua terdiam sejenak. Si wanita juga bingung mau berbuat apa dengan kondisi suaminya yang seperti itu.

"Aku sedang ingin sendiri, bu," ucap sang suami tiba-tiba. "Aku ingin istirahat. Kau sebaiknya tanya Bobby apakah ada pelajaran yang ia belum paham. Selama ini, kita hanya menyuruhnya belajar, tapi jarang membimbingnya. Cobalah mulai hari ini, kau tanya dia dan bantu kalau dia ada kesulitan. Aku hanya ingin dia menjadi siswa yang pintar di kelas."

"Bukannya biasanya Bobby mulai belajar jam tujuh malam? Lebih baik nanti tunggu malam saja."

"Kalau begitu tanya dia bagaimana teman-temannya, apakah ada yang nakal atau jahil. Kalau ada, berilah ia semangat agar tidak takut terhadap mereka."

"Bapak kok bicara seperti itu, sih?"

Pria itu tersenyum. "Aku hanya ingin Bobby bahagia."

Sang istri menggenggam tangan suaminya itu perlahan. Dua manusia itu saling bertukar senyum dalam suasana yang begitu tenang siang itu.

***

Saat ini hampir pukul delapan malam. Wanita itu mondar-mandir di teras rumah sambil membawa smartphone. Beberapa kali ia melihat ke arah jalan yang sepi dan cukup gelap di depan rumahnya. Setiap kali ada kendaraan yang lewat, ia langsung memandangnya.

Tiba-tiba smartphone-nya menyala. Nama Bagas Kara muncul di layar. Si wanita langsung menerimanya.

"Halo, mas? Kapan bisa datang ke sini?"

"Saya minta maaf sebelumnya. Mungkin saya akan terlambat datang ke rumah ibu. Sampai sekarang, antrian pasien saya masih panjang. Saya tidak mungkin menelantarkan mereka."

"Kira-kira jam berapa, mas? Kondisi suami saya makin par..."

Terdengar suara dari dalam kamar si pria. Suara itu berat, seperti tubuh manusia yang jatuh ke lantai. Suasana kembali hening.

"Pak?"

Si wanita menghiraukan sambungan telepon yang belum ia tutup. Ia perlahan melangkah kembali ke dalam rumah.

"Pak?"

Tidak ada jawaban dari suaminya. Suasana begitu sunyi di dalam rumah itu. Sambil tetap melangkah, jantung si wanita berdegub kencang. Dalam pikirannya, mulai muncul bayang-bayang yang tak ia inginkan.

Ketika ia membuka tirai kamar, wanita itu langsung berlari ke arah suaminya yang tengah berusaha untuk berdiri di lantai.

"Pak! Kok bisa jatuh dari tempat tidur seperti ini?"

Namun, ketika tanpa sengaja ia melihat wajah sang suami, wanita itu terjengkang dan merangkak mundur.

"Pak! Bapak kenapa!?"

Wajah yang tampak di depannya itu seperti bukan wajah suaminya yang ia kenal selama ini. Wajah yang dimiliki oleh pria itu lebih keras dan kejam, seperti tengah dirasuki oleh iblis jahat. Namun yang paling mengerikan adalah liur yang menetes dari mulutnya.

"Pak!"

Tiba-tiba si pria menerkam wanita itu. Ia menindih tubuhnya dan mencekik istrinya sendiri. Melalui mulutnya, suara menggeram terdengar keras.

"Pak.. Apa yang terjadi..?"

Sang istri meronta dan mencoba untuk berteriak. Namun, ia sangat kesulitan untuk bisa melepaskan diri. Sementara itu, sang suami mulai meringis. Otot-otot di wajahnya terlihat dari balik kulit merahnya.

Seketika terdengar suara langkah kaki kecil. Lalu, tirai kamar tersibak. Bobby. Sepertinya ia mendengar suara ibunya dan berlari ke kamar itu. Namun, tanpa ia sadari, bocah itu telah melihat sesuatu yang tak seharusnya ia lihat dalam hidupnya.

Bobby hanya terdiam di pintu kamar. Ia tak berteriak atau berlari. Ia hanya berdiri di situ sambil melongo, tak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang pertama kali ia alami seperti ini.

Merasa ada orang lain selain istrinya, pria itu mengangkat wajahnya dan menatap sosok Bobby. Entah apa yang terjadi, ia terus memandang anak kecilnya itu. Bahkan, kekuatan cengkeraman tangannya di leher istrinya tak sekuat sebelumnya.

Setelah itu, ia menunduk, menatap istri tercintanya yang tengah di ambang hidup dan mati. Perlahan, si pria melepaskan kedua tangannya dari leher wanita itu dan memandangnya. Ia memandang kedua telapak tangannya sendiri yang gemetar.

Lalu, tanpa ada yang menyangka, laki-laki itu berteriak keras. Ia berteriak sambil mengangkat wajahnya ke langit seperti seekor singa yang tengah mengaum. Namun, ada sebutir air mata yang tampak. Tubuhnya mulai berguncang berbarengan dengan tangisan yang mulai meledak.

Akhirnya, si pria bangkit berdiri dan berlari menuju pintu kamar. Ia juga mendorong Bobby yang menghalangi jalannya. Laki-laki itu terus berlari sampai ke jalan dan terus berlari ke arah hutan. Ia pergi sejauh-jauhnya dari dunia yang ia kenal.

Sampai kemudian ia terjatuh. Tubuhnya sesekali bergetar. Mulutnya menganga tanpa ia sadari. Liur semakin deras mengalir membasahi dagu dan kerah bajunya. Dalam keadaan seperti itu, si pria terus mencoba untuk mengingat istri dan anaknya. Ia mencoba untuk terus mengingat masa-masa indah mereka bertiga, tapi ada sesuatu yang membuat ingatannya itu semakin pudar.

Ketika bayang wajah istri dan anaknya itu semakin kelam dan semua kenangan tentang mereka seperti debu yang tertiup angin, si pria kembali berteriak. Ia ingin mengatakan sesuatu dalam teriakannya itu, tapi ia tak mampu, seolah mulutnya sudah bukan miliknya lagi. Akhirnya, ia kembali bangkit dan terus berlari sejauh mungkin sebelum dirinya menjadi sesuatu yang tak diinginkannya.

***