PERTARUNGAN DARAH

Ada seseorang di luar rumah, di halaman rumah. Aku melihatnya setelah tersadar dari lamunanku. Ia berdiri sambil menatapku. Aku tak enak jika terus memperhatikannya. Segera aku melangkah keluar rumah dan menghampiri orang itu. Hawa dingin angin malam segera menusuk. Siapa orang itu? Jika dia orang macam-macam, aku akan segera mengusirnya.

“Ada yang bisa saya bantu? Anda mencari seseorang?”

Kusapa ia sambil di dalam hati bertanya-tanya tentang siapa orang ini. Pakaiannya berwarna-warni seperti pemain sirkus.

“Aku ingin menawarkan kesenangan padamu.”

Suaranya lembut. Raut wajahnya meneduhkan. Walau segera terasa di dalam hati sebuah ketenangan, aku masih ingin menyelidiki lebih jauh.

“Kesenangan apa, ya?”, tanyaku.

“Kulihat dari jalan, kau melamun dengan wajah yang redup, apa kau punya masalah? Jika punya, kemarilah! Aku akan memberikan kesenangan.”

“Oh, maaf ini urusan saya sendiri...”

“Ikutlah denganku! Kau akan mendapat kesenangan yang tak pernah bisa kau lupakan seumur hidupmu. Kesenangan yang kau sendiri belum pernah mengalaminya.”

Ia tersenyum. Wajahnya yang cukup berumur tampak cerah dan bijaksana. Mungkin ia adalah orang yang baik. Namun, aku tak mengenalnya. Di antara kami masih berdiri tembok yang kokoh. Aku tak akan gegabah meruntuhkan tembok itu dengan menerima ajakannya.

“Maaf, memang Anda siapa? Anda datang dan langsung menawarkan kesenangan pada saya. Saya tanya, Anda sebenarnya siapa?”

“Apakah kau berpikir bahwa kau sendirian? Ada lima orang lagi yang sudah menantimu. Mereka juga sama sepertimu, dilanda masalah dan butuh jalan keluar. Ayolah! Kita jalan kaki saja karena tempat itu cukup dekat.”

Orang ini meyakinkan. Tapi aku masih ragu. Aku baru mengenalnya. Aku tak tahu siapa dia. Tetapi ia mengatakan bahwa tempat itu cukup dekat dari sini. Semoga apa yang dikatakannya benar. Jika ia mencoba melakukan hal yang “lucu”, aku akan langsung menghajarnya. Lihat saja!

“Baik, saya ikut. Semoga apa yang akan anda beri memang dapat menghibur saya. Tapi, saya akan pamit dengan istri saya dulu.”

Orang itu tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dan menceritakannya pada istriku. Ia khawatir dan melarangku pergi. Namun, aku mencoba meyakinkannya bahwa aku akan terus waspada dan menjaga diri.

Istriku mengijinkanku beberapa saat kemudian. Aku mengambil jaketku dan menghampiri orang asing itu. Kami pergi meninggalkan istriku yang kutahu masih menyimpan kekhawatiran di hatinya.

“Siapa namamu, nak?” tanyanya.

“Satya. Anda?”

“Panggil saya sesukamu.”

Sepanjang perjalanan, kuajak ia mengobrol agar aku tahu kepribadiannya. Berdasar tutur katanya, aku cukup yakin ia orang yang baik. Hanya saja, kenapa ia ingin menghiburku, seseorang yang tak dikenalnya? Aku tak tahu. Ketika kutanya apa yang akan dilakukan nanti, ia hanya menyuruhku untuk terus menebak saja.

Ia membawaku berjalan keluar kompleks permukiman ini. Jalan ini menuju ke sungai besar di dekat sini. Sebenarnya, masih ada rasa khawatir di hatiku. Namun, tetap saja rasa penasaranku lebih besar dari kekhawatiran. Aku terus berjalan bersamanya dengan posisi sedikit di belakangnya sambil menjaga jarak, demi keamanan.

Benar. Ia membawaku menuju jembatan ini. Di bawah kami adalah sungai besar yang cukup menakutkan karena kedalamannya. Di tepi kiri kanannya terhampar pepohonan yang tak terawat. Rasa khawatir menjelma menjadi rasa takut. Aku memperlambat langkahku. Tanpa kuduga, ia menghentikan langkahnya.

“Sebelum kita melanjutkan, aku dengar sungai ini terkenal menakutkan. Apakah ada sesuatu di dalamnya?”

Pria itu bertanya sambil memandang sungai yang mengalir deras di bawahnya.

“Saya malah belum pernah dengar ada cerita seperti itu.”

“Baiklah. Sekarang coba kau perhatikan. Ada sesuatu yang menarik di dalam sungai ini. Aku tak sengaja melihatnya beberapa waktu yang lalu, tepatnya malam hari ketika aku sedang mengunjungi sahabatku di sekitar sini.”

“Apa?” aku penasaran.

“Coba lihat itu! Perhatikanlah!”

Pria itu menepuk bahuku dan menunjukkan jarinya ke arah tengah sungai. Aku tak melihat apapun.

“Lihat? Kau melihatnya?”

“Tidak. Memang apa di sana?”

Tangan si pria merangkul leherku dan membuatku lebih membungkukkan badan untuk dapat melihat lebih jelas. Aku terdiam karena masih tak melihat apapun.

“Kau lihat, bukan? Sebuah cahaya berwarna-warni. Itu adalah tempat terindah...”

Seraya ia berkata, tangannya semakin menekanku ke bawah. Namun, sebelum aku menahannya, ia melakukan sesuatu yang membuatku berteriak.

Aku meluncur cepat ke dalam sungai yang terkenal dalam itu. Kenyataan ini sungguh tak dapat kuduga. Aku bisa mati di sana! Aku bisa mati di kedalaman itu! Aku akan mati!!!

Aku masuk ke dalam sungai. Kegelapan seolah menggerayangiku. Aku mencoba untuk naik ke permukaan, tapi seolah ada sesuatu yang memberatkan tubuhku. Aku merasa begitu berat. Tubuhku semakin tenggelam. Nafasku semakin menipis. Kegelapan semakin pekat. Aku berusaha memberontak. Aku berjuang... untuk...

***

Aku berusaha membuka mata. Awalnya aku masih bingung. Beberapa saat kemudian aku sadar apa yang telah terjadi pada diriku. Seharusnya aku sudah mati! Aku mencoba untuk berdiri. Ketika aku melihat di sekelilingku, jantungku berdegub kencang. Ini tempat yang tak kukenal! Ini sebuah penjara!

Tepat di depanku jeruji besi menghalangi dengan kokohnya dan di dalam penjara ini, kulihat ada beberapa orang yang menatapku dengan tatapan penuh rasa takut.

“Siapa kalian...? Dimana ini?”

Suaraku terdengar bergetar.

“Kami tak tahu ada di mana. Ada seorang pria tua yang berpakaian aneh dan mengajakku ke suatu tempat. Kemudian, aku tak sadarkan diri. Setelah bangun, aku berada dalam penjara ini. Mereka juga mengalami hal yang sama.”, jawab salah seorang di antara mereka.

Setelah kuperhatikan, mereka ada tujuh orang. Semua laki-laki.

“Pria tua dengan pakaian aneh? Aku juga mengalaminya. Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Aku tidak tahu. Tapi, aku punya firasat buruk akan hal ini. Tadi, orang itu kemari dan mengatakan bahwa kami harus menanti peserta yang terakhir. Mungkin orang yang ia maksud adalah kau.”, jelas seorang pemuda lain yang berpenampilan rapi.

“Peserta? Peserta apa? Kita harus pergi dari sini! Ini penculikan!”

Aku sekuat tenaga berusaha untuk membuka pintu penjara. Namun, pintu ini terlalu kuat. Gemboknya terlalu besar.
“Hoooooi...! Keluarkan kami!” teriakku penuh emosi.

Tiba-tiba, pintu di kejauhan terbuka. Kami terdiam. Dadaku kembali bergetar takut.

“Orang itu...”, ujar salah seorang dari kami lirih.

Benar. Orang yang aneh itu mendekat. Kali ini, ia tak sendiri. Delapan orang bertubuh besar bak algojo mengikutinya. Kulihat, wajah orang aneh ini terlihat berbeda. Aku tak lagi melihat sinar kebijaksanaan yang terpancar dari wajahnya.

“Kau sudah sadar. Semuanya, ayo ikut aku. Acara segera dimulai.”

Setelah berkata demikian, ia membuka gembok penjara.

“Acara apa? Kami mau pulang!”, teriak pemuda yang lain.

“Acara yang sangat menyenangkan.”

Segera setelah pintu dibuka, delapan orang itu menyeret kami untuk keluar. Tenaganya begitu besar. Aku yang memberontak sia-sia. Kulihat pemuda yang lain juga berusaha untuk memberontak. Perasaanku benar-benar tak karuan saat ini.

Para algojo itu membawa kami ke sebuah tempat yang luas.

“Arena!?”, ucapku cepat.

Ya. Tepat ini adalah gelanggang. Ada arena dan ratusan penonton duduk bersorak sorai mengelilingi arena. Penerangan di dalam ruangan ini hanyalah ribuan obor di sepanjang dinding dan di dalam arena. Suram. Di ujung arena itu ada sebuah kursi yang berukuran raksasa. Kursi itu menghadap ke arena yang di seberangnya terdapat gerbang tinggi.

Para algojo terus menyeret kami menuju tepi arena. Beberapa dari kami mencoba memberontak lebih keras. Namun, tangan-tangan si algojo terlalu perkasa untuk dihancurkan.

Setelah sampai di tepi arena, kami berhenti. Mereka tidak lagi mencengkeram tubuh kami, tapi justru melakukan hal yang lain.

“Apa-apaan ini?”

Mereka menelanjangi kami. Mereka membuka pakaian luar kami dan hanya menyisakan celana dalam kami. Bahkan kulihat ada dua dari kami yang tidak mengenakan celana dalam. Mereka telanjang sekarang.

Penonton semakin bersorak melihat keadaan kami. Bahkan kudengar dari beberapa penonton yang mengolok-olok dan menertawakan kemaluan milik dua pemuda kami itu. Neraka! Apa sebenarnya yang terjadi pada kami? Apa yang akan terjadi pada kami...? Kulihat dua pemuda itu menangis. Aku hampir menangis.

“Tenang hadirin, wahai hamba dari sang mulia Azmalon!”

Orang aneh itu telah berdiri di mimbar besar di sisi arena yang berseberangan dari kami.

“Sebelum saya mulai acara ini, mari kita bersama menyerukan pujian untuk mengiringi kedatangan sang mulia Azmalon! Pujian..., mulailah!”

Para algojo segera memaksa kami untuk bersujud menghadap arena. Sementara hening. Lalu, suara-suara yang aneh mulai terdengar. Awalnya lirih, tapi makin keras kemudian. Suara-suara dari seluruh yang hadir di gelanggang ini. Bahkan para algojo. Mereka menyuarakan sesuatu yang sangat aneh dengan nada yang tak aku mengerti. Suara mereka timbul tenggelam, ini seperti sebuah nyanyian yang menggelisahkan.

Tiba-tiba, dari gerbang tinggi itu muncul sesosok makhluk yang tak pernah terbayangkan olehku. Ia berjalan pelan memasuki arena. Jantungku serasa berhenti ketika melihatnya. Sosoknya tinggi dan ia telanjang. Tubuhnya berwujud manusia yang sangat kekar. Ia memiliki ekor panjang yang meliuk-liuk. Di belakangnya, terlihat puluhan ular hitam kecil yang mengikutinya, juga dengan gerakan yang meliuk-liuk. Raksasa itu, aku tak berani berlama-lama menatap wajahnya. Kepala dan wajahnya begitu... aneh.

Makhluk tadi duduk di kursi raksasa itu. pujian masih mengalun. Puluhan ular yang mengikutinya menyebar ke seluruh bagian tubuh raksasa itu, seolah si raksasa adalah tuannya.

Beberapa saat kemudian, pujian berhenti. Pujian berhenti dengan suara yang menghilang pelan-pelan. Tak terasa pipiku basah oleh air mata. Aku takjub akan sosoknya yang menakutkan, aku takjub akan rasa takutku yang begitu menggigit. Kulihat pemuda lain di sisiku juga mengalami hal yang sama.

“Yang tertinggi, sang mulia Azmalon tiba untuk kita semua! Beliau akan menyaksikan acara yang sangat luar biasa ini. Sebuah acara yang telah dipersiapkan sejak lama dan baru kali ini dapat dilaksanakan. Acara ini adalah sebuah bukti kekuasaan kita sebagai setan atas makhluk lainnya! Kita telah hidup mendampingi manusia di segala situasi. Kita menikmatinya. Namun, banyak di antara kita yang telah bosan memperbudak manusia secara halus. Kita telah menang terhadap makhluk tanah tersebut! Kemenangan yang telah kita raih berkali-kali tersebut harus dirayakan. Inilah saat bagi kita untuk merayakan kemenangan kita. Acara ini kita persembahkan kepada mereka yang telah memenangkan pertarungan. Bagi yang belum, akan ada kesempatan lain. Semua peserta yang ada di hadapan kita adalah para pembenci Tuhan. Saat saya amati sebelum saya hampiri mereka, ternyata jiwa mereka kosong. Kini, kita mari kita menggunakan manusia untuk memberikan hiburan yang terbaik! Bersama saya, Bor Inilah, Pertarungan Darah!”

Semua bersorak penuh semangat. Kami, para pemuda semakin ketakutan. Ternyata ini adalah dunia setan dan pria tua itu bernama asli Bor. Kami diculik untuk menghibur mereka, para setan itu. Kami tak bisa melawan. Tenaga kami seolah terkuras. Kami hanya dapat menunggu apa yang akan terjadi. Tapi, mengapa harus kami yang dipilih?

“Delapan peserta telah berkumpul. Mereka siap untuk memberikan yang terbaik pada kita. Saya akan memperkenalkan kepada para hadirin siapa saja mereka. Yang pertama adalah Candra!”

Salah seorang dari kami, kupikir yang bernama Candra, didorong dengan keras ke depan oleh algojo di belakangnya dan algojo itu segera mengangkat tangan Candra ke atas agar penonton tahu bahwa dialah Candra itu.

“Peserta kedua adalah Viki!”

Pemuda nomor dua segera didorong lalu diangkat tangannya tinggi-tinggi oleh algojo di belakangnya. Sama dengan apa yang dilakukan pada Candra. Penonton kali ini lebih garang bersorak. Alasannya? Viki adalah salah satu pemuda yang tak mengenakan celana dalam.

“Brengsek! Kalian bangsat! Binatang keparat murahan!”

Seorang pemuda yang berdiri di sampingku seketika berteriak. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman algojo. Namun, ia tak sekuat itu. Algojo segera menyumpal mulut pemuda itu dengan kain milik Algojo.

Orang aneh di atas mimbar terus menyebutkan nama kami. Setelah Candra dan Viki, sisanya bernama Jonny, Ron, Agung, Sandi, Destra, dan aku sendiri. Destra yang tadi berteriak-teriak masih mencoba untuk terus berteriak walau mulutnya telah disumpal oleh algojo.

“Hadirin, mari kita sambut para pelayan yang membawakan perlengkapan untuk para peserta kita!”

Dari gerbang besar itu, muncul beberapa orang berjubah. Mereka berjalan mendekati arena sambil membawa sesuatu. Setelah jarak mereka dekat, barulah kutahu apa yang mereka bawa. Beberapa senjata tajam dengan jenis yang berbeda. Ada yang pedang, tombak, sabit, dan ada perisai juga sepertinya. Namun, yang kutanyakan adalah untuk apa semua senjata itu? Apakah...

“Inilah mereka, para pelayan kita. Senjata-senjata yang mereka bawa adalah senjata khusus untuk digunakan oleh para peserta. Peserta boleh memilih senjata mana yang akan mereka gunakan untuk saling bertarung. Mereka juga boleh menggunakan dua senjata sekaligus. Boleh juga menggunakan perisai. Kebebasan memilih digalakkan di sini!”

Saling bertarung? Kami harus bertarung satu sama lain? Bibirku mulai gemetar. Semua pemuda yang lain mulai menyadari apa yang terjadi. Mereka berusaha memberontak, tapi algojo masih menguasai. Beberapa mencoba berdoa, tapi lagi-lagi algojo berkuasa.

“Lalu, yang tidak bisa dilupakan adalah hadiahnya. Siapapun yang berhasil menjadi juara dengan membunuh peserta yang lain, ia akan mendapatkan hadiahnya sebelum kita pulangkan ke dunianya seperti anjing malang yang dikeluarkan dari kandang singa. Inilah hadiahnya! Kita sambut, Salma si baret polisi!"

Dari balik gerbang raksasa, muncul kambali beberapa sosok berjubah. Mereka tampak mengangkat sesuatu. Dapat kudengar dari kejauhan sebuah teriakan. Teriakan itu milik seorang wanita. Salma?

Penonton bersorak. Aku dapat melihat apa yang mereka angkat itu setelah jarak mereka dekat. Sesosok wanita telanjang yang diikat di atas sebuah tempat tidur kecil. Ia berteriak-teriak kesetanan. Di atas kepalanya ada sesuatu. Namun, dari tempatku berdiri aku tak dapat melihat dengan jelas apa itu. Mungkinkah itu baret polisi?

“Hadirin! Tentu kita tak mungkin hanya menyaksikan darah tanpa satu pembasuh untuk penyegar mata kita. Inilah dia, Salma si baret polisi! Siapapun peserta yang berhasil mencapai babak final dan menjadi juara, ia berhak mendapatkan tubuh Salma di sini. Ia harus bermain dengan wanita itu untuk memberikan hiburan terakhir bagi kita di sini. Jika mereka tak mau bermain, nanti para algojo akan membantu mereka bermain. Setuju?”

Cukup... aku sungguh ingin pulang. Aku tak mau di sini. Aku manusia, aku punya keluarga. Mereka menantiku di rumah. Apakah setan itu mengajakku ke sini karena saat itu aku menjauhi Tuhan? Selama ini aku tak pernah melakukannya. Namun, permasalahan yang kuhadapi waktu itulah yang membuatku menjauh dan bahkan membenci Tuhan dengan sangat nyata.

Setan Bor itu menjelaskan aturan main. Kami diwajibkan untuk menguras darah lawan. Semakin banyak sayatan atau tusukan yang kita lakukan, semakin tinggi nilai yang kita dapatkan. Semakin tinggi nilainya, semakin besar peluang kita untuk melawan musuh yang bernilai rendah. Peserta dengan nilai yang lebih tinggi dari lawannya akan mendapat fasilitas ramuan penambah tenaga dari algojo. Pemain boleh meminta ramuan itu kapanpun dan sebanyak apapun selama pertarungan sementara lawannya tak berhak mendapatkannya.

Peraturan itu sangat aneh didengar. Aku merasa mereka tak sungguh-sungguh menginginkan hiburan. Mereka hanya ingin mempermainkan kami. Kulihat Salma di atas ranjang itu. Ia tampak ketakutan dan putus asa. Suaranya habis, wajahnya pucat, dan rambutnya berantakan. Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?

“Babak pertama Pertarungan Darah akan segera mulai! Berdasarkan undian, pertunjukan pertama akan dilakukan oleh... Jonny dan Satya!”

“Aku pertama?” seruku spontan.

Algojo membawaku ke sisi kiri arena. Jonny diseret ke sisi kanan. Segera setelah aku berada di sisi arena itu, para pelayan membawakanku persenjataan. Aku semakin gemetar.

“Lihat saja, nanti. Aku akan menghabisimu!” bisikku menggarong pada algojo di sampingku. Aku benar-benar ingin memakan jantungnya.

Ternyata, si algojo tidak bereaksi apapun. Ia tetap menyilakanku untuk mengambil senjata. Ketika aku melihat semua senjata ini, aku bingung mana yang harus kupilih. Aku tak bisa bertarung. Aku tak mau bertarung. Aku tak mau membunuh.

Dengan kekacauan yang ada di hatiku, kupilih pedang itu. Kupikir, senjata ini lebih praktis. Aku juga mengambil perisai. Berat! Ini akan mempengaruhi pergerakanku. Namun, hanya inilah yang sanggup melindungiku dari tebasan lawan.

Kami memasuki arena. Jonny hanya membawa tombak. Sorakan penonton memanas. Apakah aku harus membunuhnya? Apakah aku harus membunuhnya?

Tanpa diduga, sebuah kerangkeng diturunkan ke arena. Kami tak bisa keluar.

“Satya, aku tak bisa bertarung...! Aku tak mau mati!” teriak Jonny.

Aku bingung sekarang. Aku tak menanggapi seruannya. Aku sungguh tak mau melakukan ini. Aku tak mau mati, juga tak mau membunuh. Wajah Jonny tak tergambarkan. Perasaan dalam hatinya mungkin lebih buruk dari milikku.

“Aku harus membunuhmu, Satya. Bantu aku melakukan ini! Kau akan mendapat pahala jika membantuku. Hah!”

Aku tersentak. Dia berlari ke arahku. Aku menghindari tusukan tombaknya. Ia terlihat kesetanan, bergerak secepat mungkin. Pertarungan sudah dimulai. Tak ada jalan keluar selain membunuhnya. Tombaknya begitu mengancam. Tusukan-tusukannya cepat ke arahku. Saat ini, aku hanya sanggup menghindar. Beberapa kali tombak itu menghantam perisaiku. Aku tersudut. Ia terus menyerangku. Aku hanya berharap perisai ini cukup kuat menahan gempuran tombaknya yang beringas.

Tombak itu menyobek kulit kakiku! Aku seketika mengerang. Keseimbanganku goyah. Ia tampak puas mendapat darah pertama. Penonton kudengar mulai bersemangat. Aku meringis. Darah yang mengucur begitu perih. Sampai detik ini aku masih tak percaya akan apa yang terjadi pada kami, akan semua yang harus kulakukan. Apakah aku harus jadi seorang pembunuh?

Baik. Aku coba menyerangnya. Jangkauan seranganku tak sejauh dia. Tapi, aku unggul dalam kecepatan dengan senjata ini. Kami saling serang. Namun, kurasakan dengan jelas bahwa kali ini dia lebih berhati-hati. Kucoba memberikan ancaman dengan semua tebasanku. Namun, tetap aku belum mampu menjangkaunya.

Pertarungan masih berlangsung. Aku seketika mempunyai ide. Kubuang perisaiku dan saat ia menyerangku, segera kutangkap tombak miliknya. Kami tarik-menarik beberapa lama. Namun, aku lebih kuat. Kutarik tombaknya dan selesai sudah. Ia tak bersenjata.

Penonton semakin beringas! Mereka bersorak dengan ganas! Semua menyemangatiku untuk mulai berpesta dengan darah Jonny. Aku yang berdiri di puncak kemenangan merasa begitu bergemuruh.

“Ia milikmu, Satya! Tentu kau tak ingin berhadapan dengan lawan yang memiliki nilai lebih tinggi darimu nantinya, bukan?”

Suara setan tua Bor itu ada benarnya. Ini bukan mimpi. Ini pertarungan hidup dan mati dan pemenangnya akan bisa keluar dari neraka ini untuk selamanya. Setan itu bicara dengan sebenar-benarnya. Aku tak peduli dengan siapa diriku. Suara-suara para penonton yang kesetanan itu memberi kekuatan bagiku.

Aku mendekati Jonny. Ia menangis. Wajahnya sulit dijelaskan. Ia terus memohon padaku untuk mengasihinya. Suaranya tersendat oleh tangisan dan ketakutan. Tak ada jalan keluar, Jonny. Aku harus meminta darahmu.

Lalu, aku mulai menebaskan pedangku ke tubuh Jonny yang malang. Ia berteriak. Darah memuncrat dari lengannya, dadanya, punggungnya, dari mana saja. Ia berusaha untuk kabur. Sambil terpincang dan menahan maut, ia berlari menuju sudut kerangkeng yang lain. Aku terlanjur tak terhentikan. Aku ingin darah. Darah! Aku mendekatinya yang sekarat dan menyayat tangannya, kakinya, sampai akhirnya tanpa sadar, aku telah menyembelihnya.

“Satya adalah pemenang! Ia berhak maju ke babak semi final dengan nilai 31! Ia seharusnya masih berpesta. Namun, Satya membunuh Jonny sebelum ia mendapat nilai maksimal.”

Penonton kembali bergemuruh. Kerangkeng besi kembali diangkat. Para algojo segera membawa tubuh Jonny. Mereka meletakkan jasad itu tepat di depan Azmalon. Lalu, puluhan ular yang meliuk-liuk itu segera mendekat dan mulai berebut untuk memakan Jonny. Namun, pemandangan itu belum cukup mengerikan kalau belum disertai suara ular-ular itu yang mirip suara babi kelaparan.

Aku membisu di atas arena. Beberapa algojo menarikku keluar dan mengolesi lukaku dengan semacam obat. Aku begitu kacau. Aku mual. Aku ingin pingsan. Aku tak mau melihat pertarungan lain. Aku tak mau...

*** 

Aku tak mau tahu apa yang terjadi pada pertarungan selanjutnya. Ron melawan Sandi, Agung melawan Candra, dan Viki melawan Destra. Ron menang dengan nilai 83, Agung menang dengan nilai 78, dan Destra menang dengan nilai 90. Mereka tak mendapat nilai maksimal karena lawan terlanjur mati lebih dulu sebelum mereka mendapat nilai yang diinginkan. Lalu semua jasad segera dilemparkan ke kerumunan ular-ular itu, sama seperti sebelumnya.

“Hadirin! Kita memasuki babak semi final. Pertarungan Darah pertama akan dilakukan oleh Destra dan Agung! Selamat menyaksikan dan menikmati!”

Kulihat Destra telah berubah. Ia menjadi lebih berang. Ia tampak begitu bengis dan justru meminta dukungan dari hadirin. Ia seperti bukan manusia lagi. Namun, walau begitu aku merasa ia memaksakan diri. Agung justru masih sama seperti sebelumnya. Kalem tapi keras. Ketika mereka memasuki arena, Destra segera mengatakan bahwa ia akan mengincar kemaluan Agung karena Agung adalah orang kedua yang tak mengenakan celana dalam.

Ketika pertarungan dimulai, Destra dengan agresif dan tanpa ampun menyerang Agung dengan pedangnya. Setelah pertarunganku dengan Jonny, tak ada lagi yang berani menggunakan tombak.

Ya. Destra berhasil menebas daging kecil itu. Segera kengerian itu terlihat. Yang terpotong segera terjatuh... Aku menutup mata. Namun, telingaku masih mendengar ejekan Destra dan juga suara tebasan dan juga teriakan Agung dan juga seruan Bor dan juga...

Semua sangat menyenangkan! Ini sungguh menyenangkan! Inilah yang harus dilakukan oleh semuanya, saling bunuh dan pesta darah. Aku berteriak keras saat namaku disebut untuk memberi hiburan berikutnya. Aku berteriak lepas dengan air mata yang membanjir. Akulah petarung kelas satu! Akulah yang akan menjadi juara dan meniduri wanita itu sampai sekarat dan pulang untuk memamerkan kemenanganku pada keluargaku di rumah.

“Inilah aku, Satya! Angkat tangan kalian tinggi-tinggi sebagai bentuk dukungan pada sang calon jawara Pertarungan Darah!”

Hampir semua hadirin segera mengangkat kedua tangan mereka tinggi-tinggi. Mereka meneriakkan namaku, menyerukan namaku sebagai penghibur sejati dan calon jawara. Senang juga rasanya menjadi idola. Aku sengaja melirik ke arah Destra di sisi arena. Ia menatapku dengan sangat jengkel, mungkin. Karena, aku meniru kata-kata dan gayanya tadi.

Saat pertarungan dimulai, aku merasa begitu ringan. Tak ada beban, tak ada yang patut dipikirkan. Aku hanya ingin darah. Darah! Darah!

Yes! Lagi-lagi aku menang! Aku sudah potong semuanya. Semuanya! Aku tak butuh ramuan penambah tenaga itu untuk menang! Ia bukan lagi manusia. Ular-ular itu akan mendapat makanan dengan bentuk yang lebih menarik dari sekadar tubuh manusia. Sang mulia Azmalon tampak kagum dan senang dengan perubahanku ini. Hehe...

Final. Destra menepuk-nepuk dadanya dengan penuh kesombongan. Ia berteriak-teriak emosional. Kubiarkan ia memuaskan teriakannya. Setelah berhenti, aku mulai berteriak dengan kata-kata yang sama persis seperti yang ia teriakkan, hanya kuganti namanya saja.

“Kau tak akan hidup menghadapiku, Satya. Kau tak punya wibawa apapun. Aku akan mengincar lidahmu yang tak tahu aturan itu. Akulah yang akan memenangkan pertarungan ini. Setelah kusetubuhi Salma, aku akan membawanya keluar dan menenangkannya. Karena aku mengenalnya. Dia adalah pelacur yang pernah kutiduri ketika aku patah hati beberapa bulan yang lalu. Ia tak seharusnya mengalami ini, Satya. Aku akan membawanya keluar dan bersama membangun kehidupan yang baru. Aku akan selalu membawa nama Tuhan di hatiku kemanapun aku melangkah. Karena aku tak mau hal ini terulang kembali. Mungkin aku terlihat seperti preman. Ya. Aku adalah preman yang sangat parah. Aku pencuri, pemabuk, pecandu, dan pemerkosa. Tapi, preman juga punya hati. Preman kriminal sepertiku juga punya keinginan untuk bertobat.”

“Aku tak peduli dengan apa yang kau katakan. Aku melihatmu tak lebih dari seekor anjing sepertiku. Kita di sini sama, Destra. Tapi, aku lebih memiliki kecerdasan sedang kau lebih mengutamakan kebrutalan. Tidakkah ini menjadi tanda akan siapa yang menang antara kita? Partai final ini aku akan mendapat nilai sempurna, Destra. Aku akan menjadi legenda di dunia ini. Mereka yang hadir akan mengidolakanku. Aku akan bersinar bak fajar yang menghapus malam. Jika kau mengincar lidahku, aku akan mengincar semua yang kau miliki. Aku ingin memberi hiburan yang terbaik bagi sang mulia Azmalon. Kau lihat ular-ular itu? Kepada siapa mereka menatap sekarang?”

 Kerangkeng diturunkan. Tak ada penyelamat sekarang. Kami adalah dua petarung terbaik walau kondisi kami sama-sama tak baik. Banyak luka yang masih perih. Aku menggunakan pedang. Begitupun Destra. Namun, kami sama-sama tak menggunakan perisai. Bagiku sekarang, perisai hanya untuk banci.

Bor telah memberikan tanda mulai. Kami bergerak, menggeser langkah sambil mengamati gerak-gerik lawan. Dalam pertarungan akhir ini, aku tak mau membuang darah sia-sia.

Kulihat Destra mulai maju. Ia fokus. Aku mencoba menyerangnya dan ia mampu menangkis dengan sangat baik. Setelah itu ia menyerangku beberapa kali tebasan dan tusukan. Aku mampu menghindarinya walau cukup kesulitan. Aku dapat merasakan bahwa final memang bukan main-main. Siapapun yang sampai ke final adalah orang-orang yang memang terpilih.

Destra memainkan pedangnya. Ia menyerang sambil memaksaku untuk mundur. Aku berusaha untuk menangkis serangan-serangannya. Kami benar-benar menggunakan luas arena untuk menghindari serangan lawan. Saat aku sedikit lengah, ia berhasil menebas dadaku. Tak parah, tapi cukup menyakitkan. Rasa khawatir berubah menjadi dendam. Kupaksa ia untuk mundur. Kupaksa ia untuk meringkuk di sudut kerangkeng. Namun, sangat sulit mewujudkan itu. Bahkan aku mendapat beberapa tebasan yang membuatku semakin lemah. Untung aku masih mampu bertahan.

Kulihat darah yang mengalir dari tubuhku. Aku mengusapnya dengan tanganku, menatapnya sesaat. Ada percikan liar yang muncul di pikiranku. Perlahan dan penuh kebencian, aku menjilat darah di tanganku dan berteriak. Aku berlari dan menyerang Destra dari segala sisi. Ia tampak kewalahan sampai akhirnya aku berhasil mempermalukan dia. Aku berhasil menyobek celana dalamnya!

“Setan!” seru Destra dengan wajah memerah.

“Yang kau panggil ada di sekelilingmu!” ejekku.

Ia melompat dan memberiku beberapa serangan tiap detiknya. Ia tampak marah. Ini kesempatan bagus untuk membuat pertahanannya lemah.

Satu kali, aku berhasil menggores lengannya. Dua kali aku berhasil menebas kakinya.

“Sudah kukatakan tadi! Kebrutalan dan kecerdasan akan jelas diketahui siapa yang akan menang!” teriakku penuh cemooh.

Ia semakin kalap. Matanya semakin memerah. Hal ini membuatnya mampu melukaiku lagi. Aku tak mau bermain-main. Aku harus melemahkannya.

Detik ini kami benar-benar menjadi petarung yang sempurna. Kami sama-sama mencari titik lemah lawan dan mengamati setiap celah yang ada. Kami saling menebas, menusuk, dan menangkis. Darah begitu murahnya. Tubuh kami memerah banjir darah. Mata kami memerah banjir amarah. Hadirin begitu puas, pertarungan makin memanas. Bagiku, inilah hiburan terbaik tahun ini.

Dan tibalah saat bagi kami untuk saling merelakan. Dengan satu tebasan kuat, aku berhasil menebas urat nadinya. Pedang terjatuh, Destra runtuh. Namun, aku baru melakukan sekitar delapan puluh tebasan. Aku ingin lebih! Ketika aku mendekatinya untuk menyempurnakan nilaiku, Destra menatapku sambil menangis.

“Satya... jika kau keluar nanti, ajaklah Salma bersamamu... Ajaklah ia memperbaiki semua ini... kau masih belum terlambat... Satya. Hiduplah dengan penuh rasa syukur... atas apa yang Tuhan berikan padamu... Aku ikhlas mati di sini. Sekarang, lakukan apa yang kau mau... Aku akan berdoa untuk yang terakhir kalinya.”

Satya yang sekarat menutup matanya. Ia sungguh merelakan jiwanya kali ini. Aku tak peduli. Dia bukan siapa-siapa. Ia tak pantas menceramahiku seperti itu. Aku adalah sang jawara, calon petarung legendaris! Akulah raja di sini, tak ada yang boleh mengguruiku!

“Akulah pemenang di sini! Akulah petarung terbaik! Biarkan aku menyempurnakan nilaiku barulah kau boleh mati, bajingan banci!”

Penuh rasa bangga dan kesetanan, aku menebas dan menghajar tubuh malang Destra. Semakin lama aku bersenang-senang, semakin rakus diriku akan darah. Bahkan ketika Bor tua berseru bahwa aku telah mendapat nilai sempurna, aku masih belum puas. Aku ingat bahwa pemuda ini mengincar lidahku. Kini, akulah yang akan memotong lidahnya. Maka, dengan segala rasa yang meluap-luap, aku melakukan itu pada dirinya... tapi dengan lebih kejam.

Berakhirlah. Kerangkeng kembali dinaikkan. Aku mengeluarkan segala suara yang kumiliki, segala kesombongan, keserakahan, dan naluri dasar jiwaku. Akulah pemenang di sini. Para algojo itu mendekatiku dan menyiramku dengan air. Aku merasa segar dan dingin. Oh, aku merasa dingin. Aku butuh kehangatan.

Tangisan Salma masih kudengar. Ia tak menyaksikan semua pertarungan itu. Aku tahu, ia sangat tersiksa dengan suasana dan segala suara perih orang-orang itu. Tenanglah, sayang! Aku akan mendekapmu. Kau pasti bangga mendapat sentuhan yang begitu panas dari seorang jawara. Lidahmu bisa berbohong, tapi tubuhmu tidak.

Aku segera melompat ke atas ranjang dan menatap wajah wanita malang ini. Sebagai seorang pelacur, ia memang cantik dan menggoda. Saat ini ia tak mau menatapku, tapi tidak untuk beberapa menit kemudian. Tidak akan.

Akhirnya, aku benar-benar menjamahnya. Hadirin segera bungkam dan hanya terdengar suara-suara lembut dari mereka. Di arena, aku begitu haus. Aku kesetanan menggerayanginya sampai suaraku mirip seperti anjing yang menggeram. Aku melupakan semuanya. Aku melupakan siapa sebenarnya diriku. Namun, ada satu hal yang tiba-tiba terpercik di otakku. Satu hal yang akan mengubah segalanya, termasuk hidupku sendiri.

*** 

Aku tengah berada di dalam sebuah sel beberapa jam setelah aku menghabisi Salma di ranjang. Pikiran yang tiba-tiba muncul tadi segera kuceritakan pada Bor. Ia tertawa mendengarnya lalu, seorang algojo membawaku kemari. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Namun, niatku sudah bulat. Aku tak ingin kembali ke duniaku dan tetap di sini, menanti lawan selanjutnya. Bor langsung semringah mendengarku. Ia berkata bahwa aku harus menunggu. Baik, aku akan menunggu. Akulah sang jawara. Aku hanya tak ingin gelar yang kudapatkan hilang begitu saja. Toh, aku di sini tak sendiri. Si pelacur itu ada di sampingku, terdiam, menggigil, sembab, pasrah, dan siap kupakai sepanjang waktu.

***