TUBUH MANUSIA

Terjadi sebuah peristiwa di kota tempat tinggalku. Beberapa orang menghilang dan belum ditemukan sampai detik ini. Beberapa dugaan sementara adalah mereka, para korban itu telah diculik atau disandera. Ada juga dugaan bahwa mereka telah dibunuh dan jasadnya disembunyikan di suatu tempat. Sialnya, tak ada tanda-tanda kesamaan sama sekali dari para korban. Tidak ada kemiripan ciri-ciri fisik, kepribadian, kehidupan, atau permasalahan dari para korban. Seolah-olah pelakunya menculik orang-orang secara acak dan membabi-buta.

Aku bukan tipe orang yang mudah tertarik dengan peristiwa seperti itu. Namun, mengetahui banyaknya kasus penculikan yang telah terjadi membuatku was-was juga. Apalagi, aku sebagai seorang penjaga toko yang setiap hari pulang malam melewati daerah pinggiran yang sepi sebelum sampai rumah. Banyak orang yang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dan sebisa mungkin menghindari pulang sampai larut malam. Namun, aku tak mungkin melakukannya.

Aku sangat mencintai pekerjaanku walau hanya seorang penjaga toko. Oleh karena itu, aku ingin bekerja dengan baik dan disiplin waktu. Aku hanya selalu berharap bisa terus menikmati kehidupanku tanpa takut diganggu oleh ancaman apapun. Selama aku selalu berbuat baik pada orang lain, aku yakin hidupku baik-baik saja.

Malam ini, seperti biasa tokoku tutup pukul sepuluh malam. Tidak larut sebenarnya. Jalanan kota ini masih cukup ramai. Namun, di daerah tempat tinggalku memang sudah seperti area mati. Gelap, sepi, dan seolah terasing. Tapi, aku tak begitu mengkhawatirkannya. Setiap hari aku selalu melalui daerah itu dengan motorku dan aku masih hidup, masih dapat menikmati pekerjaanku sampai detik ini.

Aku mulai mengendarai motorku memasuki jalanan kampungku yang gelap. Seperti biasa, tak ada seorangpun di sisi kiri dan kananku. Pepohonan dan semak-semak lahan kosong yang liar mengepung area ini. Setelah ini, aku masih harus melewati bentangan persawahan yang sangat luas dan jauh tanpa penerangan apapun di sisi jalanan sebelum mulai melihat rumah pertama.

Walau ini adalah kampungku, entah mengapa malam ini hatiku diselimuti perasaan lain. Aku merasakan perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya ketika melewati jalan ini. Namun, aku segera menepis segala bayang hitam di benakku dan berpikir bahwa mungkin aku mulai terpengaruh dengan peristiwa penculikan itu. Walaupun aku akan merasa aneh jika aku menjadi korban penculikan itu suatu hari nanti. Apa yang akan mereka dapat dariku? Mereka tidak akan mendapat apapun dari seseorang seperti aku. Kecuali, mereka adalah penculik yang lebih “tak dapat dimengerti” dari yang lainnya.

Sesuatu menabrak motorku dan aku terlempar ke jalanan. Motorku terbanting ke depan dan menimbulkan suara pecahan yang memprihatinkan. Namun, suara itu tidak akan cukup kuat untuk sampai ke rumah pertama.

Aku berusaha untuk berdiri. Tak ada penerangan apapun di sini. Lampu motor mati, menyebabkan kegelapan total di sekelilingku. Perasaanku tak mempermainkan aku. Malam ini mungkin memang aku akan mengalami peristiwa lain.

Samar-samar, aku melihat sesosok manusia berdiri beberapa kaki di sampingku. Aku tak dapat melihat wajah atau pakaiannya. Sosok itu hanya diam berdiri tanpa menyapa.

“Siapa di situ?”

Sapaanku tak dijawabnya. Perasaanku mulai tak karuan. Perlahan aku memberanikan diri melangkahkan kaki untuk sedikit mendekatinya. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa apa yang kulihat itu adalah benar manusia.

“Halo...!”

Aku tak salah. Sosok itu benar manusia. Namun, mengapa ia tak menjawab sapaanku? Siapa dia? Mengapa ia diam di tengah kegelapan?

Aku bergidik saat menyadari bahwa aku sedang sendiri di tempat ini. Tak ada orang lain di sekelilingku, hanya dia, sosok samar itu. Orang itu aneh! Tidak ada orang yang berperilaku ganjil seperti itu di tengah malam gelap!

Aku mulai berlari. Kurasakan kakiku lebih berat dari biasanya. Namun, aku tetap berusaha untuk berlari. Tuhan, siapa sosok itu? Mengapa ia berdiri mematung di sana? Aku tak ingin membuat masalah dengan siapapun! Aku tak ingin dicelakai oleh siapapun.

Kakiku tergelincir sesuatu. Tubuhku terguling ke medan yang menurun. Akhirnya, kurasakan diriku mendarat di tempat yang basah. Aku meringis sambil mencengkeram pantat dan kepalaku. Sepertinya aku terjatuh ke sungai.

Sesosok bayangan hitam mendarat di depanku. Tubuhnya mendarat keras menyebabkan suara mengejutkan di permukaan air. Sosok hitam itu datang dari arah yang tak kuketahui. Ia berdiri tepat di depanku sekarang. Tubuhnya lebih tinggi dari dugaanku. Wajahnya tak dapat kulihat. Ia berdiri dengan beku hanya selangkah di depan mataku. Aku berkeringat dan jiwaku berguncang tak terkendali. Segala perasaan kelam teraduk di hatiku.

Tuhan ada di sini.

Aku tahu Tuhan ada di sini!

Pandanganku gelap seketika saat sebuah benda menghantam kepalaku.

***

Rasanya, aku baru saja tertidur pulas. Seperti di kamarku sendiri. Namun, ketika aku mulai mendapat kesadaranku, aku segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada diriku. Apalagi setelah aku mencium aroma darah.

Aku terkejut. Aku menjerit. Air mata keluar tanpa kuperintah. Tubuhku memberontak tanpa kusadari, memberontak untuk bisa lari. Namun, aku tak berdaya. Aku serasa di alam kematian.

Di sekelilingku tergantung tubuh-tubuh manusia. Mereka mati dan bau busuk bercampur bau darah menggumuliku. Aku di sini bersama mereka, mengalami nasib yang hampir sama. Tanganku diikat dengan tali yang menuju langit-langit. Kakiku diikat satu sama lain. Tubuhku telanjang dan aku digantung beberapa kaki dari lantai.

Aku tak tahu apa salahku. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tubuh-tubuh itu telanjang dan daging mereka terbuka, seolah hendak memakan yang masih hidup. Tubuh mereka dibedah. Seseorang telah membedah dada sampai perut mereka dan membiarkannya terbuka.

Aku menyebut-nyebut nama Tuhan di bibirku yang tak dapat kukendalikan. Tubuhku berguncang seolah tak mau kumiliki, seolah ingin meninggalkan aku sendiri. Namun, apakah aku bisa pergi? Aku digantung di antara tubuh-tubuh kematian. Jarak kami begitu dekat. Sehingga, tubuhku menyenggol tubuh-tubuh itu.

Lalu, tubuh-tubuh itu menyenggol tubuh-tubuh lainnya...

 Mereka bergerak. Semua tubuh di sekelilingku bergerak. Mereka bergerak ke kanan dan ke kiri. Ada yang bergerak memutar. Suara-suara benturan itu kudengar. Suara-suara gesekan tubuh dan gesekan luka, seolah mereka saling berbagi penderitaan. Detik ini, entah mengapa aku merasa tubuh-tubuh itu hidup. Oh, jika mereka masih punya mata, jika aku bisa melihat mata mereka, mungkin mereka melirikku saat ini.

Sayang, mata mereka tak dapat kutemukan...

Sebuah suara kudengar di depanku. Pintu itu terbuka. Kurasakan jantungku sudah bukan milikku lagi. Lalu, sebuah meja dorong memasuki ruang. Di atasnya tergeletak sebuah baskom, beberapa botol, beberapa lembar plastik, dan sebuah pisau. Di belakangnya, tampak sesosok manusia yang mendorong meja itu.

Ia mendorong meja sampai di depanku. Aku menelan ludah seketika. Orang itu mengenakan masker. Penampilan itu dihiasi dengan rambutnya keriting dan panjang. Ia hanya mengenakan singlet yang menunjukkan kekekaran tubuhnya.

Tanpa berkata, ia mengambil beberapa plastik yang ternyata adalah sarung tangan plastik dan mengenakannya. Setelah itu, ia mengambil pisau dan sebuah benda lagi yang tak kukenal. Ternyata, ia mengasah pisaunya di benda itu.

“Hey! Siapa kau!? Apa maksudmu melakukan ini padaku!? Apa salahku!?”

Tolong jangan tertawakan aku yang seperti anak kecil. Aku memang sedang menangis sekarang.

Pria itu masih mengasah pisaunya. Suara yang ditimbulkan mulai meniris harapanku menjadi serpihan-serpihan. Aku masih ingin hidup.

“Lepaskan saya, pak... Saya tidak salah apa-apa. Saya punya anak yang masih kecil di rumah. Dia dan istri saya pasti menunggu saya pulang. Tolong, pak...”

Sebenarnya kenapa dia? Apa masalahnya? Kenapa orang itu selalu mengacuhkanku? Ia terus mengasah pisaunya. Setelah selesai, ia mengambil sebuah botol dan menuangkan isinya ke sebuah kapas. Lalu, ia melangkah ke arahku dan matanya menatapku.

“Malam ini kau akan mati.”

Aku tersentak.

“Kenapa Anda ingin membunuh saya? Apa salah saya? Saya tidak pernah mengenal Anda!”

“Aku mengambil organ-organ manusia untuk kujual. Malam ini, aku akan mengambil organ-organmu.”

“Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini!? Aku tidak berbuat salah padamu! Aku tidak...”

“Kau tidak perlu melakukan kesalahan untuk mati. Aku hanya butuh organ manusia untuk mendapat banyak uang. Kau ingin hidup, aku juga butuh makan dan minum untuk hidup.”

Ia mengusap bagian dada sampai ke perutku dengan kapasnya yang basah dan dingin. Ketika kapasnya mengering, ia membuangnya dan mengambil yang baru, lalu menuangkan lagi cairan dalam botol itu ke dalam kapasnya. Aku sungguh menangis lahir batin. Malam ini aku akan mati.

“Tolong... biarkan aku pergi... Aku punya keluarga. Aku masih ingin menggendong anakku yang baru berumur setahun. Aku masih ingin membelai istriku yang sangat kucintai. Aku masih ingin mengajak mereka berjalan-jalan dan tertawa bersama mereka...”

Begitu kejamkah dunia? Seolah dunia hanya memandangku yang menjerit menahan sakit, menahan darah yang dipaksa keluar. Pisau itu mulai menusuk perutku dan perlahan menyobek kulitku menuju bagian dada. Rasa perih, sedih, dan putus asa menjadi sahabatku sekarang. Aku menangis dan mulutku menganga selebar-lebarnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Itu bukan mauku. Namun, rasa perih itulah yang memaksaku melakukannya. Para jiwa yang malang dengan luka menganga laksana mulut iblis. Entah mengapa aku merasa tubuh-tubuh di sekelilingku bergerak menghadapku. Mungkin mereka merasa prihatin denganku, dengan kehidupan ini, dengan dunia yang semakin tak dapat dimengerti, dengan manusia-manusia yang semakin tak dapat dikenali. Aku mencoba membuka mata. Walau tertutup air mata darah, aku melihat di sisa nyawaku, salah satu tubuh di sampingku yang berada di sela-sela tubuh-tubuh lainnya. Ia menatapku dengan wajah polosnya. Tubuh mayat seorang bocah yang mengingatkanku pada anakku, yang masih menantiku pulang ke rumah.

***